________________________________________
Oleh: Jamaludin Dino Arey
---------------------------------------------------
Wacana revolusi mental mencuat lagi di Indonesia lagi saat Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK pada saat kampanye pilpres 2014. Secara denotatif, revolusi berarti "kembali lagi" atau "berulang kembali", ibarat musim yang bersiklus, usaha menuju Kebaikan terus-menerus.
Pada tahun 1543 Nicolaus Copernicus mempublikasikan De Revolutionibus Orbium Coelestium, yang sering dinisbatkan sebagai penanda revolusi paradigmatik dalam sains yang mengubah keyakinan tentang pusat alam semesta dari geosentrisme (berpusat di Bumi) menuju heliosentrisme (berpusat di Matahari). Perubahan mendasar dalam keyakinan ilmiah ini lalu dikenal sebagai revolusi Copernican.
Istilah revolusi dalam kaitan ini bergeser dari pengertian sebelumnya menjadi yang didefinisikan Thomas Kuhn sebagai ”perubahan dalam susunan keyakinan saintifik atau dalam paradigma”. Dengan kata lain, pengertian revolusi tidak lagi menekankan aspek kesinambungan dalam daur ulang (unbroken continuity), melainkan justru sebagai keterputusan dalam kesinambungan (break in continuity). Sejak itu, revolusi berarti suatu perubahan struktur mental dan keyakinan karena introduksi gagasan dan tatanan baru yang membedakan dirinya dari gagasan dan tatanan masa lalu (Cohen, 1985).
Menurut Romo Benny Susetyo, Revolusi mental merupakan sesuatu yang merujuk pada adanya revolusi kesadaran. Perubahan mendasar yang menyangkut kesadaran, cara berpikir, dan bertindak sebuah bangsa besar. Revolusi mental dari sesuatu yang negatif ke positif. Perubahan dari ketidakpercayaan diri menjadi bangsa yang penuh kepercayan diri. Menyadari diri bahwa kita adalah bangsa besar dan bisa berbuat sesuatu yang besar.
Hal tersebut senada dengan I Dewa Gede Raka, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB), dimana untuk kondisi masyarakat saat ini diperlukan pendekatan dari luar ke dalam. Yakni, dimulai dari lingkungan, kemudian berdampak pada tingkah laku, sikap, keyakinan dan pada akhirnya kesadaran.
Sebagai ikhtiar dalam menyikapi persoalan Bangsa dan Negara (nation and state) saat ini yang sedang menanggung beban saat menggunakan Jargon Revolusi Mental. Ungkapan revolusi menunjukkan adanya perubahan yang bersifat mendasar, menyeluruh, dan cepat.
Jika pemerintah tak melihat upaya penyelesaian keropos mental bangsa yang nian kini beranak-pinak yang di derita dari generasi ke generasi, rasa tidak percaya diri sebagai Bangsa besar, rasa tidak memiliki kemampuan, Individu yang menjadi anak Bangsa tidak memiliki Pengetahuan dan ketrampilan, tak memiliki Penguasaan terhadap ilmu dan tekhnologi, skill, etika, keropos moral dan kedisiplinan dll, maka kiranya beberapa hipotesa kontemporer bahwa Bangsa ini diambang kehancuran dan menanti ajal kematian adalah benar adanya , apalagi diperhadapkan dengan kebutuhan peradaban dunia yang menyeret semua lapisan bangsa ini turut mengambil bagian menjadi warga dunia.
Mengubah mentalitas sebuah Bangsa, tentu bermula dari mengubah mentalitas peradabannya, tanpa merubah karakter kebangsaan yang syarat nilai universal. sedangkan merubah merubah peradaban tentunya berawal dari pendidikan, musababnya adalah pendidikan sendiri merupakan "Ruh" dari peradaban itu sendiri.
Tentu saja hal ini tidak mudah dilakukan. Untuk melakukan perubahan infrastruktur, asal masih ada dana, pasti terlaksana. Lain halnya dengan mengubah sistem yang membutuhkan waktu dan energi yang cukup besar. Apalagi mengubah mental. Untuk mengubah paradigma saja membutuhkan waktu bertahun-tahun, apalagi mengubah mental masyarakat dan mental bangsa. Termasuk didalamnya mengubah mental birokrasi.
Persoalannya sekarang, bukan soal mengharapkan adanya perubahan yang dilakukan oleh seorang pemimpin, tapi kita harus sadar bahwa revolusi harus melibatkan banyak orang. Karena pada dasarnya, revolusi berarti perubahan yang bersifat mendasar, menyeluruh, dan cepat, sekaligus menjadi sungguh-sungguh secara berulang-ualng sebagamana yang diistilahkan Ali Syariati dengan Proses Becoming (Proses ingin menjadi).
Selanjutnya, lemahnya mentalitas kepribadian membuat kebudayaan bangsa tidak memiliki akar karakter yang kuat. Tanpa kekuatan karakter, Indonesia adalah bangsa besar bermental kecil; bangsa besar mengidap perasaan rendah diri, picik dan lucu.
Indonesia mesti berkaca kepada jepang yang tak pernah kehilangan karakter kedisiplinan dan akar budayanya, jepang tak kehilangan budaya kimono dan karakter samurainya, apalagi budaya harakiri (upacara bunuh diri) ketika kedaoatan korupsi atau gagal perang.
Indenesia mesti bercermin pada India yang tidak kehilangan budaya "kain sarinya" walau dunia sudah modern.
Selebihnya, Indonesia harus berkaca pada dirinya sendiri yang lebih mempercayai, terseret gelombang budaya asing ketimbang budayanya sendiri sebagai akar berekat Bangsa.
Di Kabupaten Seram Bagian Timur mesti berkaca kepada eksistensi GPI di beberapa Kabupaten lainnya dalam usaha dan jihad dalam membangun revolusi mental, mindsate generasi masa depan ummat dan Bangsa, generasi yang cerdas, bermoral, berdisiplin, berkepribadian dan berkarater serta bermoral Qur'ani sebagai agen of nation and state dalam ikhtiar kebangsaan menyelamatkan dekadensi moral ummat dan negara dimulai dari ruang lingkup Organisasi GPI. dinamika Pemuda dan generasi Bangsa.
Disinilah kebutuhan Eksiatensi keberadaan GPI di Kabupaten SBT. Setidaknya hal ini mewujudkan harapan generasi kita mengerti pentingnya Syiar Islam yang maksimal demi kesiapan generasi, karena membangun Bangsa, Ummat dan Negara adalah bukan sekedar slogan kabupaten dengan totalitas penduduk beragama Islam tapi keropos semangat syiar-syiar Islam. Sehingga aplikatif dalam kerja rill Agar Bangsa yang kuat menuju bangsa yang berkarakter, berilmu dan beramal menuju Negara Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur dapat tercapai.
Demikian pula, semangat yang terpatri dari GPI Provinsi Maluku yang tak pernah pudar dalam usaha dan kerja, walau dalam kondisi masih serba terbatas. Support dan aprisiasi rencana pembentukan GPI SBT dalam waktu dekat ini diharapkan mampu merubah kondisi Bangsa kedepan dari keterpurukan, dekadenai moral dan Peradaban Bangsa.
Welcome GPI to Kabupaten Seram Bagian Timur.